Demand Forecasting: Jenis, Metode dan Teknologinya
Demand Forecasting sering menjadi titik awal ketika bisnis ingin memahami arah permintaan yang mungkin terjadi dalam periode tertentu, terutama ketika kondisi pasar terus bergerak dan perilaku konsumen berubah dengan cepat. Topik ini sering dianggap sebagai fondasi dalam perencanaan operasional karena bisa membantu perusahaan melihat gambaran yang lebih luas sebelum membuat keputusan penting, baik terkait produksi, distribusi, maupun pengelolaan stok.
Dengan memahami pola permintaan dari waktu ke waktu, perusahaan cenderung memperoleh wawasan yang lebih terstruktur mengenai bagaimana mereka dapat menyesuaikan strategi agar tetap relevan di tengah persaingan. Dalam praktiknya, pembahasan mengenai jenis, metode, dan cara melakukan demand forecasting sering dipandang sebagai sesuatu yang memberikan arah bagi tim operasional dan manajerial.
Prosesnya dapat membantu banyak bisnis melihat kemungkinan peluang atau hambatan yang mungkin muncul, sehingga mereka dapat merespons pasar dengan lebih luwes. Pendekatan seperti ini biasanya memberi ruang bagi perusahaan untuk menyiapkan langkah yang lebih matang, terutama ketika harus menghadapi tren musiman, perilaku konsumen yang berubah, atau dinamika ekonomi yang tidak selalu dapat diprediksi.
Apa itu Demand Forecasting?
Demand Forecasting adalah proses memperkirakan kebutuhan atau permintaan produk maupun layanan di masa mendatang dengan menggunakan data historis, tren pasar, serta faktor eksternal yang relevan. Pendekatan ini biasanya membantu bisnis memahami pola permintaan sehingga mereka bisa menyesuaikan strategi produksi, distribusi, dan pengelolaan stok secara lebih terarah.
Meskipun sifatnya tidak menjanjikan hasil yang pasti, proses ini memberikan gambaran yang lebih sistematis tentang apa yang mungkin terjadi di pasar sehingga perusahaan dapat mengurangi risiko, mengoptimalkan biaya, dan meningkatkan kesiapan operasional.
Manfaat Demand Forecasting
Demand forecasting dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana proses ini mendukung stabilitas operasional sebuah bisnis. Banyak perusahaan melihatnya sebagai langkah penting untuk mengurangi ketidakpastian dan menciptakan perencanaan yang lebih terarah. Berikut adalah manfaat utama yang biasanya diperoleh dari penerapan demand forecasting:
1. Membantu Perencanaan Produksi
Dengan memprediksi kebutuhan pasar, bisnis dapat menyesuaikan jumlah produksi sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan barang.
2. Mengoptimalkan Pengelolaan Inventory
Forecasting membantu menentukan berapa banyak stok yang seharusnya tersedia untuk menjaga keseimbangan antara efisiensi biaya dan pemenuhan permintaan pelanggan.
3. Mengurangi Biaya Operasional
Perusahaan dapat menghindari biaya penyimpanan berlebih, pembelian mendadak, atau lembur produksi karena semuanya lebih terencana.
4. Meningkatkan Pelayanan Pelanggan
Dengan ketersediaan produk yang lebih stabil, pelanggan lebih jarang mengalami kekosongan stok, sehingga kepuasan mereka meningkat.
5. Mendukung Keputusan Strategis Jangka Panjang
Data permintaan membantu perusahaan merencanakan ekspansi, menentukan lini produk baru, dan memetakan peluang pertumbuhan.
6. Mempermudah Perencanaan Supply Chain
Forecast yang akurat membantu seluruh rantai pasok bekerja lebih sinkron, mulai dari pemasok hingga distribusi akhir.
7. Membantu Mengidentifikasi Tren dan Pola Permintaan
Perusahaan dapat melihat pola musiman, siklus, atau perubahan perilaku pelanggan untuk menyesuaikan strategi pemasaran.
8. Mengurangi Risiko Bisnis
Prediksi permintaan membantu perusahaan bersiap menghadapi perubahan pasar yang tiba-tiba seperti kenaikan permintaan mendadak atau penurunan drastis.
Baca juga : Dead Stock: Pengertian, Penyebab dan Cara Mencegahnya
Jenis-Jenis Demand Forecasting
Demand forecasting dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yang masing-masing cocok untuk situasi, data, dan tujuan bisnis yang berbeda. Ada pendekatan yang lebih bersifat kualitatif dan berbasis opini, ada yang murni statistik/time-series, serta pendekatan yang mencoba menjelaskan hubungan sebab-akibat antara variabel. Setiap jenis memiliki konteks penggunaan yang berbeda sehingga pemilihannya sering dipengaruhi kondisi pasar, ketersediaan data, serta kebutuhan analisis.
1. Berdasarkan Tujuan Bisnis (Operational vs Strategic Forecasting)
Operational forecasting digunakan untuk kebutuhan jangka pendek seperti pengelolaan stok, penjadwalan tenaga kerja, atau replenishment. Strategic forecasting berfokus pada visi jangka panjang perusahaan seperti perencanaan kapasitas, ekspansi pasar, atau roadmap produk. Jenis ini membantu membedakan forecasting yang mendukung aktivitas harian dan keputusan tingkat manajemen atas.
2. Berdasarkan Horizon Waktu (Time Horizon Forecasting)
Jenis ini mengelompokkan forecasting berdasarkan jangka waktu prediksi, mulai dari harian hingga tahunan. Short-term forecasting biasanya dipakai untuk replenishment stok dan penjadwalan operasional, sedangkan medium-term lebih relevan untuk perencanaan produksi dan anggaran. Sementara itu, long-term forecasting digunakan untuk keputusan strategis seperti ekspansi, investasi mesin, atau pengembangan produk baru.
3. Berdasarkan Pendekatan Data (Qualitative vs Quantitative)
Qualitative forecasting dipakai ketika data historis minim atau produk masih baru, sehingga perusahaan mengandalkan opini ahli, survei, atau insight pasar. Sebaliknya, quantitative forecasting menggunakan data numerik historis dan perhitungan statistik untuk memprediksi permintaan secara lebih terukur. Pemilihan jenis ini sangat bergantung pada ketersediaan data dan tingkat akurasi yang dibutuhkan.
4. Berdasarkan Sifat Permintaan (Passive vs Active Forecasting)
Passive forecasting mempertahankan pola historis apa adanya, cocok untuk produk stabil tanpa banyak perubahan harga, promosi, atau gangguan eksternal. Active forecasting memasukkan variabel seperti harga, kampanye marketing, kompetisi, dan faktor ekonomi sehingga lebih adaptif terhadap perubahan pasar. Jenis ini banyak digunakan pada industri retail dan FMCG yang dinamis.
5. Berdasarkan Scope Analisis (Macro vs Micro Forecasting)
Macro-level forecasting memprediksi permintaan secara luas, misalnya total permintaan sebuah kategori pasar atau tren industri keseluruhan. Micro-level forecasting fokus pada detail yang lebih kecil seperti per SKU, per toko, per wilayah, atau per lini produk. Perusahaan besar biasanya menggabungkan keduanya untuk menghubungkan gambaran besar dengan kebutuhan operasional harian.
Baca juga: Reorder Point: Pengertian, Manfaat, Rumus dan Cara Mengitungnya
Data yang Dibutuhkan dalam Demand Forecasting
Setiap data berperan dalam membentuk pola permintaan yang dapat dianalisis, baik berdasarkan tren historis maupun perubahan perilaku konsumen. Semakin lengkap dan bersih data yang digunakan, semakin baik pula kualitas prediksi yang dihasilkan.
1. Data Penjualan Historis (Historical Sales Data)
Ini adalah komponen utama dalam forecasting karena menggambarkan pola permintaan dari waktu ke waktu. Data ini biasanya mencakup jumlah penjualan per periode, nilai transaksi, channel penjualan, serta kategori produk. Semakin panjang rentang historisnya, semakin mudah mengidentifikasi tren, musiman, atau fluktuasi permintaan.
2. Data Inventaris dan Pergerakan Stok
Informasi seperti stok masuk-keluar, safety stock, lead time, dan backorder membantu memahami bagaimana pergerakan permintaan tercermin pada ketersediaan barang. Data ini penting untuk produk yang sering mengalami keterlambatan pasokan atau tingkat perputaran tinggi.
3. Data Harga dan Promosi (Pricing & Promotion Data)
Permintaan sering berubah ketika ada diskon, promo bundling, atau perubahan harga. Mencatat intensitas promosi, durasinya, jenis promosi, serta pengaruhnya pada penjualan akan membantu model forecasting menangkap faktor penyebab fluktuasi permintaan.
4. Data Pemasaran dan Kampanye (Marketing Activities)
Aktivitas seperti ads campaign, influencer marketing, product launching, atau seasonal event berpengaruh pada lonjakan permintaan. Data ini membantu membedakan kenaikan permintaan alami dengan yang dipicu oleh aktivitas pemasaran.
5. Data Faktor Eksternal (External Variables)
Faktor ekonomi, tren industri, cuaca, event besar, hingga kondisi sosial dapat memengaruhi permintaan. Misalnya: kenaikan harga bahan bakar, hari libur nasional, perubahan regulasi, atau cuaca ekstrem. Variabel eksternal sangat penting untuk industri FMCG, agrikultur, F&B, dan retail.
6. Data Pengembalian Barang (Return Rate / Reverse Logistics)
Beberapa produk memiliki tingkat pengembalian tinggi sehingga memengaruhi perhitungan permintaan aktual. Dengan memahami pola retur, perusahaan bisa memperkirakan kebutuhan produksi dan stok lebih akurat.
7. Data Rantai Pasok (Supply Chain Data)
Lead time pemasok, kapasitas produksi, waktu pengiriman, dan risiko pasokan termasuk informasi yang dibutuhkan untuk demand forecasting yang terhubung dengan perencanaan produksi. Data ini membantu mengantisipasi potensi bottleneck dalam operasional.
8. Data Perilaku Pelanggan (Customer Behavior Data)
Dalam konteks modern, data seperti traffic website, cart activity, repeat purchase, lokasi pelanggan, hingga sentimen review dapat menjadi indikator dini perubahan permintaan. Banyak perusahaan e-commerce mengandalkan data ini sebagai early signal forecasting.
9. Data Kategori Produk dan Siklus Hidup Produk (Product Lifecycle Data)
Permintaan produk yang baru diluncurkan berbeda dengan produk mature atau produk yang sudah mendekati fase sunset. Memahami lifecycle membantu menentukan pendekatan forecasting yang tepat, terutama untuk industri teknologi, elektronik, dan fashion.
Baca juga: Inventory Management: Pengertian, Metode dan Systemnya
Metode atau Model Demand Forecasting
Metode demand forecasting digunakan untuk mengolah data historis, pola permintaan, serta variabel eksternal sehingga menghasilkan prediksi yang lebih terukur. Setiap metode memiliki cara kerja, kelebihan, dan kekurangan yang berbeda sehingga pemilihannya perlu disesuaikan dengan jenis produk, ketersediaan data, serta tingkat akurasi yang diinginkan. Berikut adalah model-model forecasting yang paling umum digunakan dalam industri modern.
Moving Average
Metode ini menggunakan rata-rata penjualan dari beberapa periode terakhir untuk memprediksi permintaan berikutnya. Moving average cocok untuk data yang stabil tanpa fluktuasi musiman yang kuat. Kelebihannya adalah sederhana dan mudah diterapkan, namun kurang responsif terhadap perubahan permintaan yang mendadak.
Weighted Moving Average
Berbeda dari moving average standar, metode ini memberikan bobot lebih besar pada data terbaru. Tujuannya adalah agar model lebih sensitif terhadap perubahan pola demand. Metode ini cocok untuk perusahaan yang ingin mempertahankan kesederhanaan namun tetap ingin mendapatkan prediksi yang lebih adaptif.
Exponential Smoothing (Single, Double, & Triple)
Metode ini memberikan bobot secara eksponensial pada data terbaru sehingga prediksi lebih responsif terhadap perubahan tren. Versi yang paling populer adalah:
- Single Exponential Smoothing untuk data stabil,
- Holt’s Linear Method untuk data dengan tren, dan
- Holt-Winters untuk data musiman.
Model ini banyak digunakan di retail, F&B, dan industri dengan demand berulang.
ARIMA (Auto-Regressive Integrated Moving Average)
ARIMA adalah model statistik yang lebih kompleks dan digunakan untuk deret waktu (time series) dengan pola tertentu. Model ini dapat menangkap kombinasi tren, autokorelasi, dan pola historis yang tidak bisa ditangani metode sederhana. ARIMA sangat efektif untuk data jangka panjang dan forecasting jangka pendek–menengah yang membutuhkan presisi.
Regresi Linear dan Multivariat (Causal Model)
Metode ini memprediksi permintaan berdasarkan hubungan sebab-akibat antara variabel seperti harga, promosi, pendapatan konsumen, cuaca, atau event tertentu. Keunggulannya adalah kemampuannya menjawab “mengapa permintaan meningkat atau menurun.” Cocok untuk bisnis yang sering melakukan promosi atau perubahan harga.
Delphi Method
Model ini berbasis opini ahli dan digunakan ketika data historis belum tersedia, misalnya produk baru atau pasar baru. Proses dilakukan dalam beberapa putaran, di mana para ahli memberikan prediksi secara anonim hingga tercapai konsensus. Metode ini sering digunakan untuk keputusan strategis.
Survey & Market Research Forecasting
Metode ini mengandalkan data survei konsumen, wawancara, dan feedback pasar. Digunakan terutama ketika perusahaan ingin membaca potensi permintaan berdasarkan preferensi pelanggan, bukan hanya pola historis. Cocok untuk industri fashion, F&B baru, dan varian produk inovatif.
Machine Learning Models
Model ini memanfaatkan algoritma modern untuk memprediksi permintaan dengan tingkat akurasi tinggi dan mampu menangani pola kompleks. Beberapa algoritma populer adalah:
- Random Forest
- Gradient Boosting (XGBoost, LightGBM)
- Neural Networks
- LSTM (Long Short-Term Memory) untuk time-series
Keunggulannya adalah kemampuan mengolah banyak variabel sekaligus dan mengenali pola non-linier. Cocok untuk e-commerce, retail besar, dan perusahaan dengan volume data tinggi.
Ensemble Forecasting Models
Metode ini menggabungkan beberapa model forecasting sekaligus, misalnya perpaduan ARIMA + XGBoost atau Moving Average + Neural Network. Tujuannya adalah meningkatkan akurasi dan stabilitas prediksi. Ini adalah pendekatan modern yang banyak digunakan oleh perusahaan besar seperti manufaktur global dan marketplace.
Judgmental / Collaborative Forecasting (S&OP / CPFR)
Metode ini menggabungkan model statistik dengan input dari tim sales, marketing, finance, hingga supplier. Digunakan dalam proses S&OP (Sales & Operations Planning) untuk menghasilkan forecast yang realistis secara operasional. Sangat efektif untuk industri FMCG dan manufaktur yang membutuhkan sinkronisasi antar departemen.
Baca juga : 8 Software Inventory Management Terbaik di Indonesia 2025
Faktor yang Mempengaruhi Demand Forecast
Permintaan suatu produk dapat berubah dari waktu ke waktu, dan proses forecasting harus mempertimbangkan berbagai elemen yang dapat memengaruhi akurasi prediksi. Faktor-faktor ini berasal dari internal perusahaan maupun kondisi eksternal yang berada di luar kendali bisnis. Dengan memahami setiap faktor, perusahaan dapat menyesuaikan model forecasting agar hasilnya lebih realistis dan relevan dengan kondisi pasar.

1. Tren dan Pola Historis (Historical Trends & Patterns)
Data penjualan masa lalu menunjukkan pola yang dapat berulang, seperti tren naik, tren turun, atau pola fluktuatif. Jika pola ini konsisten, model forecasting dapat memanfaatkannya untuk memprediksi permintaan berikutnya. Namun, perubahan mendadak pada pasar atau preferensi pelanggan dapat mengganggu pola historis ini.
2. Musiman (Seasonality)
Produk tertentu mengalami lonjakan permintaan pada periode tertentu, seperti hari raya, musim liburan, atau pergantian cuaca. Musim hujan, libur sekolah, atau acara budaya sering menjadi pemicu perubahan permintaan yang signifikan. Faktor musiman harus diakomodasi dalam model agar prediksi lebih akurat.
3. Harga dan Promosi (Pricing & Promotion Activities)
Perubahan harga dan aktivitas promosi dapat meningkatkan atau menurunkan permintaan secara drastis. Diskon besar, bundling, cashback, atau kampanye marketing intensif sering memicu permintaan yang tidak tercermin dalam data historis biasa. Model forecasting harus memasukkan variabel promosi agar tidak terjadi underforecast atau overforecast.
4. Ketersediaan Produk dan Stok (Supply Availability)
Permintaan akan terlihat lebih rendah jika stok habis (stockout), meskipun permintaan sebenarnya tinggi. Faktor ini harus diperhatikan agar data penjualan tidak disalahartikan sebagai demand sebenarnya. Perusahaan sering menggunakan lost sales analysis untuk mengatasi masalah ini.
5. Kondisi Ekonomi (Economic Conditions)
Inflasi, tingkat pengangguran, daya beli konsumen, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh besar terhadap permintaan. Situasi ekonomi yang melemah biasanya membuat permintaan menurun, terutama untuk produk non-esensial. Sebaliknya, ekonomi yang kuat sering mendorong peningkatan konsumsi.
6. Kompetisi dan Perubahan Pasar (Competition & Market Dynamics)
Masuknya pesaing baru, penurunan harga di kompetitor, atau peluncuran produk subtitusi dapat menggeser permintaan. Perubahan strategi pemasaran kompetitor juga dapat memengaruhi performa penjualan. Monitoring kompetitor membantu memperkirakan dampaknya pada demand.
7. Tren Konsumen dan Preferensi Pasar (Consumer Behavior & Preferences)
Perubahan gaya hidup, selera, atau perilaku belanja konsumen dapat memengaruhi permintaan jangka panjang dan jangka pendek. Tren kesehatan, digitalisasi, atau gaya hidup minimalis misalnya, sering mengubah pola permintaan produk tertentu. Data perilaku pelanggan menjadi indikator penting dalam forecasting modern.
8. Faktor Sosial dan Budaya (Social & Cultural Factors)
Hari raya, momen budaya, perubahan demografi, dan kebiasaan masyarakat memengaruhi variasi permintaan. Produk makanan, fashion, atau kebutuhan harian sangat dipengaruhi kebiasaan sosial yang musiman maupun tahunan.
9. Faktor Cuaca dan Iklim (Weather & Climate)
Cuaca ekstrem atau perubahan iklim berpengaruh besar pada industri agrikultur, F&B, dan fashion. Contohnya, hujan panjang meningkatkan permintaan jas hujan, sementara suhu panas meningkatkan permintaan minuman dingin.
10. Kebijakan Pemerintah dan Regulasi (Regulations & Policy Changes)
Aturan baru terkait perpajakan, impor, keamanan produk, atau perizinan dapat menyebabkan permintaan naik atau turun. Perubahan regulasi adalah faktor eksternal yang sering memicu fluktuasi besar terutama pada industri farmasi, pangan, dan otomotif.
11. Siklus Hidup Produk (Product Lifecycle
Setiap produk memiliki fase: introduction, growth, maturity, dan decline. Permintaan pada tiap fase berbeda, sehingga model forecasting harus menyesuaikan teknik yang digunakan. Produk baru biasanya membutuhkan metode kualitatif, sedangkan produk stabil cocok dengan time series.
Baca juga: Cara Kerja Consignment Stock, Perbandingan dan Teknologinya
Tools dan Software yang Umum Dipakai Demand Forecast
Salah satu platform populer adalah SAP Integrated Business Planning (SAP IBP), yang dikenal mampu menggabungkan data penjualan, supply chain, dan inventory dalam satu sistem terpusat. Untuk perusahaan yang menggunakan ekosistem Oracle, Oracle Demantra sering menjadi pilihan karena fiturnya yang kuat dalam causal forecasting dan kolaborasi lintas departemen. Sementara itu, Microsoft Dynamics 365 Supply Chain Management menawarkan kemampuan forecasting berbasis AI yang mudah diintegrasikan dengan modul penjualan serta produksi. Di ranah analitik mandiri, IBM Planning Analytics menyediakan pendekatan multidimensi yang cocok untuk analisis permintaan jangka panjang dan simulasi skenario bisnis.
Tidak hanya software enterprise-grade, ada juga solusi yang lebih fleksibel seperti Tableau yang sering digunakan untuk memvisualisasikan pola permintaan sebelum proses forecasting dilakukan. Power BI juga menjadi alat populer karena integrasinya yang kuat dengan data warehouse dan kemampuan membuat model prediksi sederhana. Untuk perusahaan yang memerlukan solusi berbasis cloud dengan kemampuan machine learning otomatis, Amazon Forecast menjadi opsi yang menarik. Sedangkan bagi perusahaan retail yang menginginkan pendekatan praktis, Zoho Inventory dan Odoo menyediakan fitur forecasting bawaan yang mudah digunakan tanpa kebutuhan teknis yang tinggi.
Di sisi ERP modern, Acumatica juga menjadi platform yang semakin banyak digunakan karena kemampuannya mengintegrasikan data inventory, penjualan, dan supply chain secara real-time. Modulnya mendukung perencanaan permintaan berbasis historical trend, seasonal pattern, dan analitik yang terhubung langsung dengan seluruh proses bisnis.
