Cara Mencegah Terjadinya Stockout dan Penyebab Utamanya
Stockout sering menjadi momok yang tidak hanya mengganggu kelancaran operasional, tetapi juga memengaruhi pengalaman pelanggan secara keseluruhan. Ketika sebuah bisnis tidak mampu memenuhi permintaan karena stok habis, berbagai konsekuensi bisa muncul, mulai dari hilangnya peluang penjualan hingga berkurangnya loyalitas pelanggan. Kondisi ini membuat banyak perusahaan mulai memperhatikan bagaimana pola permintaan, proses pengadaan, dan akurasi data inventori dapat berperan dalam meminimalkan risiko tersebut.
Di sisi lain, upaya mencegah terjadinya stockout membutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang apa saja faktor yang dapat memicunya. Setiap bisnis memiliki dinamika yang berbeda, sehingga penyebab dan cara penanganannya pun bisa bervariasi. Dengan memahami elemen-elemen yang memengaruhi ketersediaan barang, perusahaan dapat mengambil langkah yang lebih terarah untuk menjaga konsistensi persediaan, meningkatkan efisiensi operasional, dan mempertahankan kepuasan pelanggan.
Apa itu Stockout?
Stockout adalah kondisi ketika persediaan suatu barang habis sehingga bisnis tidak dapat memenuhi permintaan pelanggan pada saat itu. Situasi ini biasanya terjadi karena ketidaktepatan perencanaan stok, lonjakan permintaan yang tidak terduga, keterlambatan pasokan dari supplier, atau ketidakakuratan pencatatan inventori.
Dalam konteks operasional, stockout sering menimbulkan berbagai konsekuensi seperti kehilangan penjualan, pelanggan beralih ke kompetitor, hingga meningkatnya biaya operasional karena perusahaan harus melakukan pemesanan mendadak atau pengiriman ekspres.
Jenis – Jenis Stockout
Penting untuk melihat bahwa setiap situasi kehabisan stok bisa muncul dari kondisi yang berbeda. Variasi penyebab inilah yang membuat penanganannya tidak bisa disamaratakan antara satu bisnis dan lainnya. Dengan mengetahui kategorinya, Anda dapat mengidentifikasi akar masalah lebih cepat dan menentukan strategi pencegahan yang paling tepat.
- Unplanned Stockout (Stockout Tidak Terduga)
Terjadi ketika permintaan melebihi perkiraan atau saat terjadi gangguan dalam pasokan, seperti keterlambatan supplier, kesalahan pencatatan inventori, hingga lonjakan permintaan tiba-tiba. Ini adalah jenis stockout yang paling sering dialami bisnis karena muncul tanpa peringatan.
- Planned Stockout (Stockout yang Direncanakan)
Biasanya terjadi karena keputusan strategis perusahaan, misalnya saat menghabiskan stok lama, melakukan phase-out produk, atau perpindahan ke model atau varian baru. Stockout ini terjadi dengan terencana dan tidak dianggap sebagai masalah karena sudah diantisipasi dalam strategi operasional.
- Distribution Stockout (Stockout di Saluran Distribusi)
Kondisi ketika stok sebenarnya tersedia di pusat atau gudang lain, tetapi tidak berada di lokasi yang tepat untuk memenuhi permintaan. Contohnya, satu cabang toko kehabisan barang, sementara gudang pusat masih memiliki stok, tetapi proses distribusi tidak cukup cepat untuk memenuhi permintaan.
- Operational Stockout (Stockout Akibat Kegagalan Operasional)
Terjadi karena kesalahan internal seperti salah hitung stok, misplacement barang di gudang, sistem yang tidak sinkron, atau proses picking yang keliru. Artinya, stok sebenarnya ada, tetapi tidak bisa ditemukan atau digunakan pada saat dibutuhkan.
- Seasonal Stockout (Stockout Musiman)
Biasanya terjadi saat periode permintaan tinggi seperti hari raya, musim liburan, atau event belanja besar. Kegagalan memprediksi lonjakan musiman menyebabkan stok cepat habis dan sulit dipenuhi kembali.
Baca juga : Dead Stock: Pengertian, Penyebab dan Cara Mencegahnya
Penyebab Utama yang Mengakibatkan Stockout
Setiap penyebab biasanya berkaitan dengan akurasi data, pola permintaan, atau manajemen supply chain secara keseluruhan. Dengan mengidentifikasi akar masalahnya, perusahaan dapat menyusun strategi yang lebih tepat untuk menjaga ketersediaan stok dan menghindari kerugian yang tidak perlu.
1. Peramalan Permintaan yang Tidak Akurat
Ketika perusahaan tidak mampu memprediksi permintaan dengan baik, stok yang disiapkan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan aktual. Misalnya, penjualan tiba-tiba meningkat karena tren mendadak atau kampanye marketing yang memperoleh respons jauh di atas ekspektasi. Ketidakakuratan ini menyebabkan stok cepat habis sebelum proses pengadaan berikutnya selesai, sehingga terjadi stockout yang dapat memengaruhi layanan kepada pelanggan.
2. Lead Time Supplier yang Panjang atau Tidak Konsisten
Supplier yang membutuhkan waktu lama untuk mengirimkan barang dapat meningkatkan risiko kekosongan stok, terutama jika bisnis tidak memiliki buffer tambahan. Dalam beberapa kasus, supplier juga mengalami kendala internal seperti keterlambatan produksi, gangguan logistik, atau permintaan tinggi dari klien lain. Ketika lead time tidak stabil, perusahaan sulit menentukan kapan harus melakukan pemesanan ulang sehingga stok bisa habis sebelum barang baru tiba.
3. Safety Stock yang Tidak Memadai
Safety stock berfungsi sebagai cadangan untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan maupun gangguan pasokan. Jika perhitungan safety stock terlalu kecil atau tidak diperbarui secara rutin, perusahaan bisa kehabisan stok lebih cepat dari yang diperkirakan. Akibatnya, bisnis tidak memiliki ruang toleransi ketika terjadi lonjakan permintaan atau keterlambatan pasokan, dan stockout pun lebih mudah terjadi.
4. Kesalahan Pencatatan dan Ketidakakuratan Inventori
Kondisi di mana stok fisik tidak sesuai dengan data sistem dapat menimbulkan keputusan pengadaan yang keliru. Misalnya, sistem menunjukkan stok masih banyak padahal barang di gudang sudah menipis atau bahkan habis. Ketidaksesuaian ini biasanya terjadi karena proses input manual, kesalahan pencatatan saat penerimaan barang, atau kontrol kualitas inventori yang kurang ketat.
5. Gangguan Operasional di Gudang (Warehouse Issues)
Permasalahan seperti salah penempatan barang, proses picking yang tidak efisien, atau barang yang hilang di gudang dapat menyebabkan situasi stockout meskipun sebenarnya stok masih ada. Proses operasional yang tidak rapi membuat barang tidak bisa diambil tepat waktu untuk memenuhi permintaan pelanggan. Gangguan semacam ini sering terjadi pada gudang yang tidak memiliki sistem manajemen inventori yang terstruktur atau masih mengandalkan pencatatan manual.
6. Lonjakan Permintaan Mendadak (Demand Spike)
Beberapa produk mengalami kenaikan permintaan secara tiba-tiba karena faktor musiman, tren viral, atau event tertentu seperti hari raya dan promosi besar. Jika perusahaan tidak mempersiapkan stok ekstra untuk menghadapi periode-periode ini, persediaan akan cepat habis. Permintaan yang melonjak dalam waktu singkat menjadi penyebab stockout yang paling sulit diprediksi jika tidak didukung data historis dan analisis permintaan yang baik.
7. Keterlambatan Pengiriman dan Masalah Logistik
Gangguan transportasi, cuaca buruk, atau kendala distribusi dapat memperlambat proses pengisian ulang stok. Walaupun pemesanan sudah dilakukan tepat waktu, masalah logistik membuat barang tidak tiba sesuai jadwal. Situasi seperti ini sering dialami bisnis dengan rantai pasok yang kompleks dan bergantung pada banyak pihak.
Dampak Terjadinya Stockout Pada Bisnis
Kondisi kehabisan stok tidak hanya memengaruhi aspek penjualan, tetapi juga dapat menekan operasional, reputasi, hingga posisi kompetitif di pasar. Dengan mengetahui konsekuensinya, perusahaan dapat melihat bahwa menjaga ketersediaan barang bukan hanya isu operasional, melainkan bagian penting dari strategi bisnis jangka panjang.
- Kehilangan Penjualan dan Pendapatan
Dampak paling terasa dari stockout adalah hilangnya potensi penjualan karena pelanggan tidak bisa membeli produk yang mereka butuhkan. Situasi ini dapat menurunkan pendapatan harian hingga mengganggu target penjualan bulanan atau tahunan. Pada bisnis yang mengandalkan volume penjualan tinggi seperti ritel, e-commerce, dan FMCG, satu hari stockout dapat menimbulkan kerugian signifikan.
- Pelanggan Beralih ke Kompetitor
Ketika produk tidak tersedia, pelanggan biasanya langsung mencari alternatif di tempat lain. Jika pengalaman ini terjadi berulang, pelanggan bisa kehilangan kepercayaan dan berpindah secara permanen ke kompetitor. Kondisi ini tidak hanya menghilangkan pendapatan jangka pendek, tetapi juga merusak basis pelanggan dalam jangka panjang.
- Meningkatnya Biaya Operasional
Perusahaan sering kali harus mengambil langkah darurat untuk memenuhi permintaan, seperti melakukan expedited shipping, pengiriman kilat, atau pemesanan dari supplier cadangan. Semua langkah ini memerlukan biaya tambahan yang dapat membebani anggaran operasional. Biaya darurat ini sering kali jauh lebih tinggi dibandingkan pengelolaan stok yang terencana.
- Menurunnya Reputasi dan Citra Brand
Ketika pelanggan sulit mendapatkan produk yang seharusnya tersedia, persepsi mereka terhadap profesionalitas dan reliabilitas brand bisa menurun. Reputasi yang buruk dapat menyebar melalui ulasan negatif, media sosial, atau dari mulut ke mulut. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan daya saing perusahaan di pasar.
- Disrupsi pada Rantai Pasok Internal
Stockout tidak hanya memengaruhi bagian penjualan, tetapi juga dapat mengganggu departemen lain seperti produksi, gudang, dan procurement. Ketika stok tidak tersedia, proses produksi bisa terhenti, dan tim pengadaan harus mengambil keputusan mendadak yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan di rantai pasok. Gangguan kecil ini dapat berujung pada penundaan besar di tahap berikutnya.
- Hilangnya Peluang Upselling dan Cross-selling
Saat pelanggan datang untuk membeli produk yang habis, peluang untuk menawarkan produk lain atau paket penjualan otomatis hilang. Ini berdampak pada nilai transaksi rata-rata (AOV) serta mengurangi potensi peningkatan pendapatan yang biasanya didapat melalui strategi upselling.
- Ketidakstabilan Perencanaan dan Forecasting
Frekuensi stockout yang tinggi dapat mengganggu proses perencanaan bisnis karena data historis menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan ini membuat perusahaan sulit memprediksi permintaan secara akurat untuk periode berikutnya. Pada akhirnya, proses forecasting menjadi kurang andal dan keputusan persediaan menjadi lebih berisiko.
Baca juga: Cara Kerja Consignment Stock, Perbandingan dan Teknologinya
Cara Mengukur Risiko Stockout (Stockout Rate)
Sebelum sebuah bisnis dapat memperbaiki sistem persediaannya, penting untuk mengetahui seberapa besar risiko stockout yang sebenarnya terjadi. Pengukuran ini membantu perusahaan melihat pola kekosongan stok dan menilai seberapa sering kondisi tersebut memengaruhi kemampuan dalam memenuhi permintaan pelanggan. Dengan memahami tingkat stockout, bisnis bisa menyusun strategi yang lebih akurat untuk meningkatkan ketersediaan barang.
- Rumus Dasar Stockout Rate
Stockout rate biasanya dihitung untuk mengetahui persentase kejadian ketika stok tidak mampu memenuhi permintaan pelanggan. Formula dasarnya adalah:
Stockout Rate = (Jumlah kejadian stockout / Total permintaan atau total order) × 100%
Perhitungan ini memberikan gambaran frekuensi stockout dalam periode tertentu, misalnya harian, mingguan, atau bulanan. Semakin tinggi angkanya, semakin besar risiko dan dampak kekosongan stok terhadap kinerja bisnis.
- Menentukan Parameter yang Akan Diukur
Sebelum menghitung, perusahaan harus menentukan apa yang dijadikan acuan, apakah jumlah order yang gagal dipenuhi, jumlah SKU (Stock Keeping Unit) yang mengalami stockout, atau jumlah hari tanpa ketersediaan barang. Parameter ini penting karena setiap industri memiliki kebutuhan analisis yang berbeda. Misalnya, perusahaan ritel mungkin lebih fokus pada SKU, sedangkan e-commerce memantau dari sisi order pelanggan.
- Mengumpulkan Data Secara Konsisten
Data yang digunakan harus mencakup informasi mengenai permintaan pelanggan, inventori yang tersedia, dan waktu terjadinya stockout. Pengumpulan data biasanya dilakukan melalui sistem inventory, WMS, atau ERP agar akurasinya terjaga. Konsistensi pencatatan sangat penting agar perhitungan stockout rate benar-benar mencerminkan kondisi aktual.
- Mengidentifikasi Periode Analisis
Periode analisis bisa mingguan, bulanan, kuartalan, atau mengikuti event tertentu seperti musim liburan atau kampanye besar. Memilih periode yang tepat membantu perusahaan memahami pola stockout dalam kondisi yang berbeda. Dengan begitu, langkah pencegahan bisa disesuaikan berdasarkan siklus permintaan yang terjadi.
- Menginterpretasikan Hasil Stockout Rate
Setelah mendapatkan angka stockout rate, perusahaan perlu menilai apakah persentasenya tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Misalnya, rate di bawah 5% biasanya dianggap masih dapat ditoleransi, sementara di atas 10% menunjukkan masalah serius dalam manajemen persediaan. Interpretasi ini membantu tim operasional menentukan prioritas perbaikan, mulai dari forecasting, safety stock, hingga penguatan hubungan dengan supplier.
Baca juga: 8 Software Inventory Management Terbaik di Indonesia 2025
Cara Mencegah Terjadinya Stockout
Mengelola persediaan bukan hanya soal menambah atau mengurangi stok, tetapi bagaimana Anda menjaga ritme bisnis tetap stabil tanpa gangguan. Setiap perusahaan memiliki pola permintaan dan tantangan operasional yang unik, sehingga pendekatan untuk mencegah stockout perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Dengan memahami strategi yang tepat, Anda dapat menjaga ketersediaan barang sekaligus menciptakan pengalaman belanja yang lebih konsisten bagi pelanggan.
1. Optimalkan Peramalan Permintaan (Demand Forecasting)
Demand forcasting membantu bisnis memprediksi jumlah stok yang dibutuhkan berdasarkan data historis, tren musiman, aktivitas pemasaran, dan kondisi pasar. Dengan forecasting yang lebih akurat, perusahaan dapat menentukan jumlah pembelian yang tepat sehingga risiko kehabisan stok dapat diminimalkan. Penggunaan software otomatis atau AI juga dapat meningkatkan tingkat akurasi karena mampu menganalisis data dalam jumlah besar.
2. Hitung Safety Stock dan Reorder Point Secara Tepat
Safety stock berfungsi sebagai penyangga ketika permintaan tiba-tiba meningkat atau pasokan mengalami keterlambatan. Dengan menghitung safety stock berdasarkan variabilitas permintaan dan lead time supplier, bisnis dapat mencegah kehabisan stok di masa-masa kritis. Selain itu, menentukan reorder point (ROP) yang tepat membantu memastikan proses restock dimulai sebelum stok benar-benar menipis.
3. Tingkatkan Koordinasi dengan Supplier
Hubungan yang baik dengan supplier sangat berpengaruh pada kestabilan pasokan barang. Komunikasi rutin terkait kebutuhan stok, perubahan permintaan, dan kendala operasional dapat membantu supplier memberikan respon lebih cepat. Jika memungkinkan, perusahaan juga dapat menilai performa supplier melalui SLA untuk memastikan ketepatan waktu pengiriman.
4. Gunakan Sistem Inventory Berbasis Real-Time
Sistem inventori modern memungkinkan bisnis memantau ketersediaan produk secara langsung di berbagai lokasi gudang atau toko. Dengan data real-time, perusahaan dapat mendeteksi potensi stockout lebih cepat, menghindari kesalahan pencatatan, dan mengambil keputusan restock berdasarkan kondisi aktual. Integrasi dengan inventory management system, POS, WMS, atau ERP semakin memperkuat akurasi dan efisiensi operasional.
5. Lakukan Audit Stok Secara Berkala
Audit stok membantu memastikan bahwa data inventori sesuai dengan jumlah fisik barang di gudang. Ketidakakuratan data sering menjadi pemicu utama stockout, terutama pada bisnis yang masih menggunakan metode pencatatan manual. Dengan audit berkala, perusahaan dapat mengidentifikasi anomali stok, kehilangan barang, atau kesalahan pencatatan yang perlu segera diperbaiki.
6. Prioritaskan SKU dengan Pergerakan Tinggi (High-Moving Items)
Tidak semua produk memiliki tingkat permintaan yang sama. Dengan melakukan analisis ABC atau segmentasi SKU, perusahaan dapat mengetahui item mana yang membutuhkan perhatian lebih besar dalam pengelolaan stok. Fokus pada SKU yang paling laris membantu meminimalkan risiko stockout pada produk yang paling berpengaruh terhadap pendapatan.
7. Siapkan Buffer untuk Periode Musiman dan Event Khusus
Beberapa periode seperti hari raya, promo besar, atau akhir tahun biasanya menyebabkan lonjakan permintaan. Dengan mempersiapkan buffer stok khusus untuk periode tersebut, perusahaan dapat mengantisipasi kenaikan volume penjualan yang signifikan. Perencanaan ini sangat penting terutama bagi retail, FMCG, dan e-commerce yang sangat sensitif terhadap tren musiman.
8. Terapkan Strategi Multi-Warehouse atau Multi-Supplier
Mengandalkan satu gudang atau satu supplier meningkatkan risiko jika terjadi gangguan. Strategi multi-warehouse memungkinkan perusahaan memindahkan stok ke lokasi yang permintaannya lebih tinggi. Sementara itu, memiliki lebih dari satu supplier memberikan fleksibilitas ketika salah satu pihak mengalami keterlambatan atau masalah pasokan.
Baca juga: 8 Software Warehouse Management Terbaik di Indonesia 2025
Tools atau System yang Membantu Mengurangi Stockout
Sistem persediaan yang tepat bukan hanya memperbaiki visibility barang, tetapi bisa menjadi dasar strategi preventif untuk menghindari stockout. Dengan memanfaatkan teknologi yang mendukung pencatatan real-time, analitik, dan otomatisasi, perusahaan dapat bergerak dari reaktif ke proaktif dalam pengelolaan stok. Berikut adalah beberapa jenis tools atau sistem yang sangat direkomendasikan untuk memperkuat manajemen persediaan perusahaan.
- Sistem Manajemen Inventori (Inventory Management System / IMS)
IMS adalah perangkat lunak yang memungkinkan bisnis memantau persediaan secara terstruktur, mulai dari penerimaan barang, penyimpanan, hingga pemenuhan order. Dengan IMS, Anda bisa mendapatkan visibility real-time terhadap stok di berbagai lokasi sehingga bisa segera mengetahui ketika suatu barang mencapai tingkat kritis dan berisiko stockout. Fitur seperti notifikasi otomatis ketika jumlah stok di bawah threshold atau integrasi dengan barcode/RFID mengurangi kesalahan manusia dan mempercepat proses pengambilan keputusan.
- Modul Forecasting & Analitik Permintaan
Untuk mencegah stockout, sangat penting memiliki perkiraan permintaan yang akurat dan mengantisipasi fluktuasi. Sistem dengan modul forecasting dan analitik mampu memproses data historis, tren musiman, lead time supplier, dan faktor eksternal lainnya untuk menghasilkan rekomendasi stok yang lebih tepat. Dengan demikian, perusahaan bisa menentukan safety stock dan reorder point dengan basis data yang lebih kuat, bukan sekadar perkiraan manual.
- Otomatisasi Pemesanan Ulang (Automated Replenishment)
Ketika stok berada pada titik kritis, sistem otomatis dapat memicu pemesanan ulang ke supplier atau gudang. Fitur ini mencegah keterlambatan pengisian ulang yang bisa menyebabkan stockout. Sebagai contoh, sistem memonitor penggunaan barang secara real-time dan ketika tercapai ambang batas, secara otomatis mengirim permintaan restock atau alert ke tim procurement.
- Integrasi Multisaluran & Multi-Gudang
Di era omnichannel, stok bisa tersebar di toko fisik, online, gudang pusat, atau gudang regional. Sistem yang mengintegrasikan semua saluran tersebut memungkinkan sinkronisasi data dan menghindari situasi di mana stok tercatat tersedia namun secara fisik tidak di tempat yang tepat. Misalnya, jika pelanggan membeli online sementara stok di toko fisik tidak diperbarui, maka akan muncul mismatch yang bisa berujung pada stockout untuk saluran tertentu.
- Sistem Vendor-Managed Inventory (VMI) atau Kolaborasi Supplier
Dalam beberapa kasus, perusahaan menyerahkan sebagian tanggung jawab pengelolaan persediaan kepada supplier melalui skema VMI (Vendor-Managed Inventory). Dengan demikian supplier ikut menjaga level stok dan restock tanpa menunggu permintaan internal muncul. Pendekatan ini mengurangi beban operasional internal dan meningkatkan kecepatan respons terhadap kondisi permintaan dan pasokan.
- Software ERP
Sistem ERP mengintegrasikan berbagai fungsi bisnis, seperti keuangan, pembelian, produksi, penjualan, dan persediaan dalam satu platform terpadu, seperti SAP B1, Acumatica dan Oracle Netsuite. Misalnya, modul inventori dalam ERP memberikan visibilitas real-time terhadap stok barang di seluruh lokasi gudang serta saluran penjualan. Dengan data yang terpusat dan terhubung ke modul lain (seperti penjualan dan pembelian), perusahaan dapat lebih cepat bereaksi terhadap penurunan stok atau lonjakan permintaan, serta otomatis melakukan pemesanan ulang atau memindahkan stok antar gudang.
