Cara Kerja Consignment Stock, Perbandingan dan Teknologinya
Consignment stock menjadi salah satu strategi cerdas dalam rantai pasok modern yang mampu menjaga keseimbangan antara efisiensi distribusi dan ketersediaan barang di pasar. Dalam praktiknya, sistem ini menuntut koordinasi yang sangat baik antara pemasok dan mitra penjual agar arus barang, pencatatan stok, hingga pelaporan penjualan berjalan selaras tanpa menimbulkan beban modal berlebih di salah satu pihak.
Di tengah persaingan bisnis yang menuntut kecepatan dan akurasi, memahami bagaimana mekanisme kerja di balik sistem ini bukan hanya soal operasional, tetapi juga soal bagaimana perusahaan mampu mengoptimalkan strategi penjualan dan meminimalkan risiko finansial.
Cara kerja consignment stock kini tidak bisa dilepaskan dari peran teknologi yang mendukung pencatatan, pelacakan, dan pelaporan real-time. Perbandingan antara metode tradisional dan sistem digital berbasis ERP atau WMS menunjukkan betapa besar pengaruh otomatisasi terhadap efisiensi dan transparansi bisnis. Dengan bantuan teknologi tersebut, hubungan antara pemasok dan retailer menjadi lebih kolaboratif, data stok dapat dikelola secara presisi, dan proses audit pun menjadi lebih mudah dilakukan.
Apa itu Consignment Stock?
Consignment stock adalah sistem pengelolaan persediaan di mana pemasok menitipkan barangnya di gudang atau toko milik pihak lain (biasanya distributor atau retailer), namun kepemilikan barang tersebut masih berada di tangan pemasok hingga barang terjual. Artinya, pihak penjual tidak perlu membeli barang di muka mereka hanya membayar setelah produk benar-benar laku di pasaran.
Dalam praktiknya, sistem ini banyak digunakan di industri seperti FMCG, fashion, otomotif, dan farmasi, di mana perputaran barang cepat dan ruang stok menjadi faktor penting. Dengan mekanisme ini, pemasok bisa memperluas jangkauan pasarnya tanpa harus menanggung biaya distribusi tambahan, sementara pihak retailer dapat menawarkan lebih banyak pilihan produk tanpa risiko kelebihan stok (overstock).
Consignment stock memang sekilas mirip dengan dropshipping, tetapi keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam hal lokasi stok, kepemilikan barang, dan alur penjualan. Dalam sistem consignment stock, barang fisiknya sudah berada di lokasi penjual (retailer atau distributor), namun kepemilikannya masih di tangan pemasok sampai terjadi penjualan.
Artinya, toko atau distributor menyimpan barang tersebut secara fisik, mengelolanya di rak atau gudang, lalu membayar ke pemasok hanya untuk barang yang benar-benar terjual. Sementara dalam dropshipping, penjual tidak pernah menyimpan barang. Ketika ada pesanan, penjual meneruskan order ke pemasok, dan pemasoklah yang langsung mengirim barang ke pelanggan akhir.
Tujuan dan Manfaat Consignment Stock
Sistem ini tidak hanya mengurangi risiko finansial, tetapi juga membantu menjaga ketersediaan produk di pasar tanpa membebani arus kas pihak penjual. Dengan kerja sama yang transparan dan didukung teknologi pengelolaan stok yang tepat, consignment stock mampu menciptakan hubungan bisnis yang lebih fleksibel dan saling menguntungkan. Berikut adalah tujuan dan manfaat utama dari penerapan consignment stock:
- Mengurangi beban modal kerja bagi retailer
Penjual tidak perlu membeli stok di awal, sehingga modal bisa dialokasikan untuk aktivitas pemasaran atau pengembangan bisnis lainnya. - Meningkatkan eksposur produk pemasok
Barang yang dititipkan di banyak titik penjualan memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan peluang penjualan. - Memperkuat hubungan bisnis antara pemasok dan distributor
Sistem berbasis kepercayaan ini mendorong kolaborasi jangka panjang yang saling menguntungkan. - Menurunkan risiko kelebihan stok (overstock)
Barang yang tidak laku bisa dikembalikan ke pemasok tanpa membebani retailer dengan biaya penyimpanan. - Memastikan ketersediaan barang secara konsisten
Pelanggan tidak akan kehabisan produk karena stok selalu tersedia di lokasi penjualan. - Meningkatkan efisiensi rantai pasok
Proses replenishment menjadi lebih cepat karena stok sudah berada dekat dengan titik penjualan. - Memberi fleksibilitas pada strategi penjualan
Retailer dapat menguji permintaan pasar terhadap produk baru tanpa risiko kerugian besar. - Mendorong transparansi dan kontrol inventori yang lebih baik
Dengan dukungan sistem ERP, Inventory Management System atau WMS, pergerakan barang dapat dilacak secara real-time dari kedua sisi.
Cara Kerja Consignment Stock
Cara kerja consignment stock berlangsung melalui beberapa tahapan koordinasi antara pemasok (supplier) dan pembeli (retailer), di mana barang tetap menjadi milik pemasok hingga terjual.
Pertama, pemasok mengirimkan stok barang ke gudang atau toko milik pembeli, namun secara kepemilikan, barang tersebut masih tercatat sebagai milik pemasok. Tujuannya agar pembeli dapat menjual produk tanpa harus langsung membeli seluruh stok di awal, sehingga risiko kelebihan persediaan berkurang.

Kedua, pihak pembeli menyimpan dan menampilkan barang tersebut untuk dijual kepada pelanggan akhir. Dalam tahap ini, pemasok biasanya tetap memantau jumlah stok melalui sistem inventori bersama atau laporan berkala dari pihak pembeli agar dapat mengetahui pergerakan barang secara real-time.
Ketiga, ketika terjadi penjualan kepada konsumen akhir, status kepemilikan barang tersebut berpindah dari pemasok ke pembeli. Artinya, baru pada titik inilah pembeli melakukan pembayaran ke pemasok sesuai jumlah barang yang terjual.
Keempat, pemasok melakukan replenishment (pengisian ulang) ketika stok di gudang pembeli mulai menipis. Proses ini sering diatur berdasarkan data penjualan aktual agar rantai pasokan tetap efisien dan tidak terjadi kekosongan stok di toko.
Terakhir, pencatatan akuntansi dan rekonsiliasi stok dilakukan secara berkala untuk memastikan data penjualan, retur, dan stok fisik sesuai dengan laporan di kedua pihak. Sistem ERP atau software inventory management biasanya digunakan untuk mengotomatisasi pelacakan ini agar tidak terjadi selisih data.
Secara keseluruhan, mekanisme ini bergantung pada kepercayaan dan transparansi data antara pemasok dan pembeli, karena keberhasilannya ditentukan oleh ketepatan informasi stok dan penjualan yang dilaporkan.
Baca juga: Demand Forecasting: Jenis, Metode dan Teknologinya
KPI yang Harus dipantau pada Sistem Consigment Stock
Dalam sistem consignment stock, keberhasilan tidak hanya diukur dari seberapa banyak produk yang dikirim atau terjual, tetapi juga dari efisiensi dan keakuratan pengelolaan stok di antara pemasok dan retailer. Karena hubungan kedua pihak sangat bergantung pada data yang transparan, maka pengawasan berbasis indikator kinerja utama (Key Performance Indicators / KPI) menjadi hal yang sangat penting. Berikut KPI yang perlu dipantau dalam manajemen consignment stock:
- Sell-Through Rate
Sell-through rate menunjukkan persentase barang yang berhasil terjual dibandingkan dengan total barang yang dikirim ke retailer dalam periode tertentu. KPI ini mengukur efektivitas penjualan produk di lokasi konsinyasi. Nilai yang tinggi menandakan bahwa produk memiliki permintaan pasar yang baik, sementara nilai rendah menjadi sinyal bahwa produk perlu dikaji ulang atau strategi pemasaran perlu diperbaiki.
- Days-on-Shelf (Inventory Aging)
Days-on-shelf menggambarkan berapa lama rata-rata barang berada di rak toko sebelum terjual. Semakin lama produk tersimpan, semakin besar risiko penurunan nilai, kerusakan, atau kadaluarsa (terutama pada produk FMCG dan farmasi). Dengan memantau metrik ini, pemasok dapat menentukan kapan waktu terbaik untuk melakukan promosi, diskon, atau bahkan menarik kembali stok yang tidak laku agar tidak membebani gudang dan modal kerja.
- Fill Rate & Stock Availability
Fill rate mengukur kemampuan sistem konsinyasi untuk memenuhi permintaan pelanggan tepat waktu tanpa kehabisan stok (stockout). KPI ini menjadi cerminan keandalan rantai pasok. Nilai fill rate yang rendah dapat menyebabkan kehilangan penjualan dan menurunkan kepercayaan pelanggan, sedangkan nilai tinggi menunjukkan efisiensi pengelolaan stok dan koordinasi yang baik antara pemasok dan retailer.
- Shrinkage Rate
Shrinkage rate mengacu pada selisih antara stok fisik dengan stok yang tercatat di sistem, yang bisa disebabkan oleh pencurian, kesalahan pencatatan, atau kerusakan barang. Metrik ini sangat krusial karena berhubungan langsung dengan potensi kerugian finansial. Jika shrinkage terus meningkat, perusahaan perlu mengevaluasi sistem pengawasan gudang, meningkatkan audit internal, dan memperkuat kontrol keamanan.
- Reconciliation Variance
Reconciliation variance menunjukkan perbedaan data antara catatan pemasok dan retailer setelah proses rekonsiliasi periodik. Nilai varians yang kecil menunjukkan bahwa kedua pihak memiliki sistem pencatatan yang sinkron dan akurat. Namun jika selisih besar sering muncul, hal ini bisa menandakan adanya masalah integrasi sistem, human error, atau kebijakan pelaporan yang tidak seragam.
- Consignment Turnover Ratio
Consignment turnover ratio mengukur seberapa cepat stok konsinyasi berputar atau terjual dalam periode tertentu. Rasio ini membantu pemasok menilai efektivitas rotasi produk dan efisiensi modal yang tertanam di stok konsinyasi. Jika turnover terlalu lambat, pemasok mungkin perlu meninjau kembali strategi penempatan produk, kategori barang, atau pola pengiriman agar dana tidak tertahan terlalu lama di lokasi retailer.
Baca juga: Reorder Point: Pengertian, Manfaat, Rumus dan Cara Mengitungnya
Perbandingan Consignment vs Vendor Managed Inventory (VMI)
Dalam rantai pasok modern, baik Consignment Stock maupun Vendor Managed Inventory (VMI) sama-sama bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan stok dan memperkuat kolaborasi antara pemasok serta pelanggan. Meski keduanya sering dianggap serupa karena melibatkan pemasok dalam pengendalian persediaan, perbedaan mendasarnya terletak pada kepemilikan barang, tanggung jawab pengelolaan, dan mekanisme pelaporan stok.

- Kepemilikan Barang
Pada Consignment Stock, kepemilikan barang tetap berada di tangan pemasok hingga produk terjual di pihak retailer. Sedangkan pada VMI, barang sudah menjadi milik pelanggan (retailer) begitu diterima di gudang mereka, meskipun pemasok masih mengelola pergerakan stoknya. Perbedaan ini memengaruhi pencatatan akuntansi dan tanggung jawab risiko atas barang tersebut.
- Pengelolaan Stok
Dalam Consignment Stock, retailer hanya menyediakan ruang penyimpanan dan melaporkan penjualan, sedangkan pemasok bertanggung jawab terhadap stok yang masih tersisa. Pada VMI, pemasok bertugas mengatur kapan dan berapa banyak barang yang perlu dikirim, tetapi stoknya menjadi tanggung jawab pelanggan sepenuhnya setelah diterima.
- Tujuan dan Fokus Utama
Tujuan utama Consignment Stock adalah menurunkan beban modal kerja bagi retailer dan memperluas distribusi bagi pemasok. Sementara VMI difokuskan pada optimasi ketersediaan barang dan pengurangan biaya logistik dengan bantuan data real-time.
- Sistem Pelaporan dan Komunikasi Data
Consignment Stock bergantung pada pelaporan penjualan dari retailer ke pemasok, biasanya secara periodik (harian, mingguan, atau bulanan). Sebaliknya, VMI menggunakan integrasi sistem langsung melalui ERP atau EDI, di mana pemasok dapat memantau stok pelanggan secara real-time untuk melakukan replenishment otomatis.
- Risiko dan Tanggung Jawab
Dalam sistem consignment, risiko barang tidak laku atau rusak ditanggung pemasok, karena barang masih menjadi miliknya hingga terjual. Di sisi lain, pada VMI, risiko sudah berpindah ke pelanggan karena barang telah menjadi aset mereka, meski pemasok tetap berperan aktif dalam menjaga tingkat stok optimal.
- Dampak terhadap Arus Kas
Consignment Stock memberikan keringanan modal bagi retailer karena mereka hanya membayar setelah produk terjual. Sementara VMI mengharuskan retailer membayar di awal, meski pengelolaan stoknya dilakukan oleh pemasok.
- Kecocokan Industri
Model consignment lebih banyak digunakan di industri dengan tingkat permintaan fluktuatif seperti fashion, kosmetik, dan otomotif, di mana risiko barang tidak laku relatif tinggi. Sedangkan VMI cocok untuk industri dengan volume tinggi dan stabil, seperti FMCG, farmasi, dan elektronik, yang membutuhkan replenishment cepat dan data permintaan yang konsisten.
- Dukungan Teknologi
Keduanya dapat diotomatisasi melalui sistem ERP dan Warehouse Management System (WMS), namun VMI biasanya membutuhkan tingkat integrasi data yang lebih tinggi agar pemasok bisa mengakses informasi stok pelanggan secara langsung. Consignment stock bisa dikelola dengan sistem yang lebih sederhana, asalkan ada laporan periodik yang akurat.
Baca juga: 8 Software Warehouse Management Terbaik di Indonesia 2025
Teknologi yang Mendukung Consignment Stock
Dalam era digital saat ini, penerapan consignment stock tidak lagi bisa mengandalkan sistem manual seperti pencatatan spreadsheet atau laporan bulanan dari retailer. Kompleksitas hubungan antara pemasok dan distributor menuntut adanya visibilitas data yang real-time, akurat, dan terintegrasi antar sistem.
Karena itu, teknologi menjadi faktor kunci dalam memastikan sistem consignment stock berjalan efisien, mulai dari pemantauan stok hingga pengelolaan pembayaran otomatis. Tanpa dukungan teknologi, risiko seperti kesalahan data, keterlambatan pelaporan, atau ketidaksesuaian stok akan sulit dihindari. Berikut beberapa teknologi utama yang mendukung implementasi consignment stock agar dapat dioperasikan secara optimal dan transparan:
1. Enterprise Resource Planning (ERP)
ERP merupakan tulang punggung utama dalam pengelolaan stok konsinyasi karena mampu mengintegrasikan berbagai proses bisnis, mulai dari persediaan, akuntansi, hingga penjualan. Melalui ERP, pemasok dapat memantau pergerakan barang di lokasi retailer secara otomatis dan mengelola penagihan berdasarkan data penjualan aktual.
Contohnya, sistem seperti Acumatica, Oracle NetSuite atau SAP S/4HANA memungkinkan sinkronisasi data inventori antar pihak tanpa perlu input manual. Keunggulan lain dari ERP adalah kemampuannya mengidentifikasi stock aging, yaitu lamanya barang tersimpan, yang berguna untuk menghindari penumpukan stok tidak laku.
2. Warehouse Management System (WMS)
WMS berperan dalam pengelolaan stok fisik di gudang, termasuk yang dikonsinyasikan ke retailer. Teknologi ini memastikan setiap barang memiliki barcode atau RFID tag untuk memudahkan pelacakan lokasi, jumlah, dan status barang secara real-time. Dengan fitur seperti inventory tracking, cycle counting, dan return management, WMS membantu pemasok meminimalkan kehilangan atau kerusakan barang yang berada di lokasi pihak ketiga.
3. Internet of Things (IoT) dan Sensor Tracking
Pemanfaatan IoT memberikan transparansi tambahan dalam sistem consignment stock. Melalui sensor yang dipasang di rak atau gudang, pemasok bisa mengetahui tingkat ketersediaan barang, suhu penyimpanan, atau kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi kualitas produk (terutama untuk sektor farmasi dan makanan). Sistem ini juga dapat diintegrasikan dengan ERP atau WMS untuk memberi peringatan otomatis ketika stok hampir habis atau terjadi penyimpangan kondisi penyimpanan.
4. Application Programming Interface (API) Integration
Integrasi API memungkinkan data stok dan transaksi penjualan di retailer langsung tersinkron ke sistem pemasok. Teknologi ini sangat penting untuk menghindari jeda informasi yang sering terjadi jika hanya mengandalkan pelaporan manual.
Misalnya, ketika produk terjual di kasir retailer, data tersebut secara otomatis masuk ke sistem ERP pemasok dan memperbarui status stok serta invoice. Hal ini mendukung efisiensi rantai pasok sekaligus meningkatkan akurasi pelaporan keuangan.
5. Cloud Computing
Sistem berbasis cloud memungkinkan pemasok dan retailer mengakses data konsinyasi dari mana saja, kapan saja, tanpa batasan perangkat. Selain fleksibel, teknologi cloud juga mendukung data synchronization antar pihak secara aman dan terenkripsi. Platform seperti Microsoft Azure, Oracle Cloud, atau AWS menyediakan infrastruktur yang stabil untuk penyimpanan dan analisis data consignment stock berskala besar.
6. Data Analytics dan Artificial Intelligence (AI)
Analitik data dan kecerdasan buatan memberikan keunggulan prediktif dalam pengelolaan consignment stock. Melalui analisis tren penjualan, sistem dapat memperkirakan kebutuhan restock dan mengoptimalkan jumlah stok di lokasi retailer. AI juga dapat mendeteksi anomali seperti penurunan penjualan atau penyusutan barang yang tidak wajar. Dalam jangka panjang, teknologi ini membantu pemasok mengambil keputusan berbasis data, bukan sekadar perkiraan.
7. Blockchain untuk Transparansi dan Keamanan Data
Untuk hubungan bisnis yang melibatkan banyak pihak, blockchain menjadi solusi inovatif karena mencatat setiap transaksi dan perpindahan barang dalam ledger yang tidak dapat diubah. Ini menjamin keaslian data antara pemasok dan retailer serta mengurangi risiko manipulasi laporan. Meskipun masih berkembang, beberapa industri seperti farmasi dan logistik mulai mengadopsi blockchain untuk memastikan visibilitas penuh dalam sistem konsinyasi.
Secara keseluruhan, kombinasi teknologi di atas menciptakan ekosistem digital yang mendukung kolaborasi antara pemasok dan retailer secara efisien dan transparan. Dengan penerapan yang tepat, consignment stock bukan hanya menjadi strategi distribusi, tetapi juga bagian dari transformasi digital rantai pasok yang adaptif terhadap perubahan pasar.
